Televisi Sahabat Anak


1.      Bukan Gara-gara Televisi
Kematian seorang anak di Bandung di tahun 2007, yang disinyalir gara-gara tayangan Smack Down, cukup menghentakkan berbagai kalangan. Media ramai memberitakannya. Seruan agar tayangan tersebut dihentikan, diteriakkan. Namun, pengelola tayangan menyatakan secara eksplisit bahwa korban yang berjatuhan, baik cedera maupun meninggal, bukan menjadi tanggungjawab mereka. Pihak yang menyiarkan tayangan pun belum memberikan tanggapan atas kejadian tersebut. Barangkali mereka pun merasa tidak harus bertanggungjawab. Toh, tayangan itu mengudara jauh di atas jam tidur anak-anak. Toh, sebuah tayangan apabila telah masuk ke rumah-rumah, seolah tidak ada urusannya dengan pihak penyiar. Hak menonton sepenuhnya ada di tangan pemilik televisi. Ada tidaknya tayangan, berpengaruh atau tidaknya tayangan, tergantung si pemegang remote. Apabila ditonton, tentu saja berpengaruh. Pun sebaliknya. Jadi, mengapa harus membawa-bawa pihak pengelola siaran? Kekuasaan ada di tangan pemirsa. Tanggung jawab ya di tangan mereka. Barangkali, begitulah pikiran mereka. Dan, hingga sekarang kita masih bisa menyaksikan gambaran kekerasan berseliweran di televisi, meski acara tersebut tidak ada lagi. Kekerasan hadir dalam bentuk sinetron, reality show, bahkan (yang sangat disayangkan, karena dianggap tontonan anak-anak) film kartun.
 Saya berprinsip No TV at Home karena memiliki banyak pertimbangan. Pertama, membuat kita cenderung lebih malas karena ketika ada waktu luang, merasa bisa diisi dengan menonton televisi. Kedua, ketika sudah terbiasa menonton, bahkan bekerja (rumah tangga atau yang lainnya) bisa dilakukan sembari menonton TV. Ketiga, kontrol terhadap tayangan masih lemah, belum bisa kuat hanya memilih tayangan tertentu dan patuh mematikan di tayangan-tayangan yang tidak perlu. Keempat, tergoda membeli kelengkapannya dari mulai DVD Player, Antena Parabola, Langganan TV Kabel, Audo Set dan menambah kuantitas TV (yang semula 17 inch, melebar dan terus melebar sampai mirip bioskop). Kelima, dengan meningkatnya pemakaian berikut segala hal yang mendukung hadimya kenyamanan menonton, otomatis mendesak anggaran baik pembelian barang maupun pemakaian listrik. Begitu.
 Kembali ke tayangan kekerasan di televisi. Mengharapkan kesadaran internal pengelola siaran televisi, agaknya seperti mengharapkan hujan di padang pasir. Konsep ekonomi kapitalis masih menjadi tuhan yang menguasai garis kehidupan bisnis pertelevisian. Jadi, sebuah acara dengan banyak penonton, berarti ratingnya tinggi, berarti juga spot iklannya mahal. Perkara acara tersebut tidak mendidik, membawa pesan-pesan negatif, mempengaruhi kondisi masyarakat yang sudah sakit ini menjadi semakin sekarat, jangan salahkan pengelola pertelevisian, dong. Salah sendiri, tuh. Ya, supaya KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) ada pekerjaan, supaya pemerintah ada yang diurus, supaya polisi semakin sibuk, supaya LSM dan organisasi ada kegiatan, begitu mungkin pikiran pengelola industri televisi berikut pendukungnya. Padahal, dalam tataran praktis, elemen-elemen di atas nyaris tidak berdaya ketika siaran televisi masuk ke rumah-rumah dengan bebasnya. Benar, memang di tangan pemirsa-lah hidup-matinya tayangan, Tapi siapa yang bisa membawa masyarakat menjadi masyarakat yang selektif? Lalu, di saat pemirsa belum bisa selektif, tidakkah menjadi tanggung jawab pengelola industri televisi untuk mempertimbangkan semua ekses tayangan yang mereka pertontonkan?
 Makanya, yang punya idealisme jangan hanya bicara. Buat televisi yang bermutu. Coba, bisa tidak bertahan? Lihat saja, TVRI yang lumayan terkontrol akhirnya tidak kuat bersaing dengan televisi swasta. Mengapa? Karena masyarakat menonton televisi itu mencari hiburan. Sekali lagi, hiburan. Bagus, kalau tidak menghibur? Pasti tidak akan bertahan. Membuat yang bagus dan disukai, bukan hal gampang. Padahal, tayangan tetap harus jalan. Bagus saja tidak cukup. Harus menarik untuk ditonton. Kalau tidak ditonton, mana bisa dapat iklan? Kalau tidak dapat iklan, bagaimana bisa jalan? Realistis sajalah, begitu kira-kira gambaran dilematis antara idealisme tayangan dengan realita tayangan dan kecenderungan masyarakat memilih tontonan.
Yah, tapi memang akhirnya keluarga juga yang menjadi kunci utama apakah siaran televisi berikut eksesnya akan diizinkan masuk atau tidak ke wilayah mereka. Sebuah keluarga tanpa televisi adalah keluarga langka (bin ajaib?) di negeri ini. Televisi bukan lagi menjadi alat rumah tangga, tetapi meningkat derajatnya menjadi bagian sebuah keluarga. Bahkan, dalam kondisi tertentu TV beralih fungsi menjadi baby sitter! Anak duduk manis diajari televisi. Boleh dikatakan, kehidupan diawali dengan televisi dan diakhiri dengan televisi, begitu setiap hari. Nah, dengan kondisi ketergantungan terhadap televisi yang begitu besar, apakah kesadaran dan filter keluarga terhadap siaran televisi masih bisa diharapkan? Terlebih televisi menjadi hiburan dan teman melepas kelelahan setelah penat bekerja dan bergulat dengan realita kehidupan. Keluarga dan masyarakat baru tersadar betapa pentingnya kontrol siaran setelah ekses nyatanya dirasakan, termasuk korban smack down tersebut. Itu pun masih bisa terlupakan ketika waktu membuat pemirsa kembali menikmati tayangan demi tayangan lain yang ditawarkan.
Tapi, smack down bisa dikatakan hanya momentum. Jauh sebelum smack down menjadikan anak-anak pintar memperagakan arti kekerasan, mereka telah lama mendapatkan informasi tersebut. Tom and Jerry misalnya. Film kartun dan zaman ke zaman produksi MGM ini menceritakan kucing dan tikus yang selalu bermusuhan dan berusaha mengalahkan lawannya dengan segala bentuk kekerasan dan sadisme yang mencoba dilucukan. Padahal, apa yang lucu dari adegan memukul lawan hingga bentuknya tidak karuan? Tidak ada. Justru yang terjadi adalah menjadikan kekerasan sebagai lelucon sehingga kita terbiasa untuk menerimanya, terbiasa dan terus terbiasa hingga menjadi konsep keseharian. Proses ini ditanam sendiri oleh masyarakat. Taruhlah anak-anak menonton T & J di usia balita, mengakrabi jagoan yang selalu berkelahi seperti Satria Baja Hitam, Power Rangers, Ninja Turtles dll di usia SD, menggemari Batman, Superman yang selalu berhadapan dengan musuh sadis dan keras di usia SMP.
 Padahal, sejak anak masih dalam kandungan, sang ibu selalu menonton sinetron yang menampilkan orang jahat, kejam, licik,, mata duitan yang selalu berlaku kasar. Bagaimana kekerasan tidak mendarah daging bila ia sudah mengenalnya selama itu? Maka, saat anak menonton tayangan kekerasan, tidak ada penolakan baik secara rasional maupun emosional. Justru tayangan tersebut menstimulus konsep yang selama ini belum jelas ekspresinya. Anak-anak sebelumnya memahami eksistensi kekerasan dengan bersikap agresif, gemar menggunakan anggota tubuhnya untuk menyakiti orang lain (memukul, menendang, menggigit, dan lain- lain), dan yang sejenisnya. Lalu, ketika ada tayangan smack down yang mengajari bagaimana menunjukkan eksistensi kekerasan dengan “lebih profesional”. Apa yang


2.      Don’t Believe in Tv
Televisi saat ini telah menjadi barang wajib di hampir setiap keluarga. Boleh jadi keberadaan televisi bukan lagi menjadi kebutuhan sekunder apalagi tersier, tetapi menjadi kebutuhan primer. Menonton televisi menjadi agenda bersama, bahkan bagi sebagian ibu rumah tangga di sela-sela mengerjakan pekerjaan domestiknya mereka menyempatkan diri menikmati tayangan yang ada. Akibatnya, anak-anak mereka merekam betul betapa orangtuanya sangat akrab dengan “kotak ajaib” tersebut. Pelaku bisnis pertelevisian pun mengerti betul kondisi masyarakat yang menjadikan tontonan teman rehat menyenangkan. Pasca dibukanya kran kebebasan pers dan pendirian TV swasta, saat ini tak kurang belasan chanel TV nasional dan lokal yang bisa dipilih. Agaknya bisnis stasiun televisi memang menggiurkan, hingga pernah ada mantan menteri pun yang ikut-ikutan meski harus dengan modal pinjaman. Yah, wajar saja-lah. Sekali tayang, sebuah spot iklan nilainya puluhan juta. Padahal, satu hari berapa ribu spot yang muncul dari seluruh total waktu siaran? Terlebih apabila chanel tersebut termasuk chanel terkenal dengan tayangan banyak penggemar. Latah bisnis televisi nasional kini merambah ke daerah. Mayoritas pelaku industri tentu melihat hal ini lebih sebagai peluang bisnis daripada proyek edukasi.
Fenomena ini tentu tidak sepenuhnya positif. Saat indeks baca bangsa Indonesia masih rendah, saat industri buku belum melaju, saat tingkat buta aksara masih menjadi PR bersama, kehadiran beragam tayangan televisi bisa menjadi bumerang bagi pergerakan peradaban menuju arah kemajuan. Harus diakui, industri televisi tidak murni proyek idealis tanpa menyertakan unsur kapitalis. Biaya investasi dan biaya operasional sebuah stasiun televisi sangatlah besar. Apabila keuntungan dan iklan untuk sekali tayang program unggulan mencapai hitungan milyar, tentu jumlah yang bisa membuat dada berdebar (ingat, sekali tayang Iho!), maka bisa dibayangkan penghasilan dari mengelola televisi. Jadi, bila hampir semua program diorientasikan pada pasar, tentu sangat wajar. Tak ada manusia yang mau rugi, pun para pengusaha televisi. Terlebih, sekali lagi, modal dan biaya operasionalnya besar.
Masalahnya adalah, apakah demi keuntungan materi dan “alasan” selera pasar maka program televisi tak lagi memperhatikan unsur pendidikan (prinsip tontotan bisa menjadi tuntunan) terutama bagi anak-anak? Tentu tidak bisa begitu. Adalah harga yang tak layak menukar peradaban masa depan (anak-anakkita) dengan gundukan uang yang pada akhirnya lebih banyak dilarikan untuk kepuasan sesaat. Joan Ganz Coone pencipta Sesame Street, menyatakan bahwa anak-anak dan televisi adalah perpaduan yang kuat. Artinya, tayangan televisi memang bisa mempengaruhi mereka, secara pikir dan akhirnya perilaku. Demi sebuah idealisme masa depan bangsa, katakanlah Arnerika (Joan tinggal di Amerika), ia pun menciptakan program-program yang menghibur dan mendidik seperti Sesame Street, Barney, Muppet Show, dan Reading Rainbow (program untuk merangsang anak mencintai buku).
Bagaimana dengan Indonesia? Mistik, kekerasan, takhayul, kekuatan ajaib, dan mimpi menjadi orang kaya mendadak dengan menjadi selebriti adalah tawaran yang berseliweran di hampir semua stasiun televisi. Bayangkanlah bila program itu yang terus-menerus merasuk ke benak anak-anak kita. Jangan kaget bila kelak mereka menjadi generasi yang realita sosialnya ditunjukkan dengan angka kriminalitas tinggi, perceraian meningkat, aborsi, kumpul kebo, konsumerisme, dan orientasi hidup yang selalu hanya mengedepankan bagaimana menjadi orang kaya, terkenal, dipuja sana sini namun dicapai dengan jalan yang mudah. Tidak ada idealisme Tidak ada perjuangan membangun peradaban secara moral. Tidak ada. Walhasil, peradaban bangsa ini pun sejalan dengan tingkah laku individunya.
 Nina M Armando, aktifis pemerhati media televisi, mengkhawatirkan maraknya tayangan berlabel SU (Semua Umur) di berbagai stasiun televisi yang diklaim sebagai “acara anak-anak”. Ia menyerukan agar para orangtua waspada dan tidak percaya begitu saja terhadap pelabelan tersebut, karena banyak tayangan anak yang memuat nilai-nilai negatif seperti tersebut di atas. Lah, bagaimana bila para orangtua justru membiarkan anaknya “ngobrol’ dengan televisi karena ia tengah mengerjakan pekeijaaan rumah tangga, istirahat,, sibuk,, dan lain-lain, pokoknya tak mau diganggu? Itulah, televisi menjadi baby sitter.
Idealnya memang ada media pengganti, komputer misalnya. Atau diputarkan CD anak-anak yang lebih mendidik (misal, seri Rahasia Hidup produksi Emperror). Yah, memang lebih mahal, tetapi sungguh tak ada artinya bila mengingat masa depan mereka. Televisi saat ini belum bisa dijadikan teman terpercaya anak-anak kita, bila tanpa pendampingan bijak dari orangtua. Please, jangan sampai kertas putih di jiwa mereka dipenuhi gambar Nobita yang cengeng, bodoh, dan selalu mengandalkan keajaiban Doraemon, Kindaichi yang selalu berurusan dengan pembunuhan sadis, atau gaya percintaan tokoh-tokoh Disney.
Begitu rawannya efek negatif program-program televisi telah membuatbeberapa orang “mengharamkan” benda tersebut. Televisi secara materiil tentu tidak salah. Dia hanya benda mati yang sangat tergantung penggunanya (man behind the gun, begitu). Yang bermasalah memang pengelola stasiun televisi, karena merekalah yang menjadi “man behind television”. Apakah mereka punya idealisme mendidik masyarakat menikmati tayangan bermutu, atau selalu berdalih dengan nama “maunya pasar”? Masyarakat kita bukan masyarakat tanpa norma, bukan manusia tanpa nurani. Semestinya bila mereka dididik menikmati tayangan bermutu, akan bisa bergeser pula seleranya. Buktinya, tayangan Lorong Waktu dan Kiamat Sudah Dekat hasil garapan Dedy Mizwar menuai banyak penggemar. Proses mendidik pemirsa ini sangat penting, bukan sekadar demi kepentingan satu-dua generasi. Peradaban maju dan berbudi pekerti adalah proyek tanpa batas yang selalu saja butuh jutaan helaan nafas. Kerja estafet yang semestinya lebih baik, lebih baik, dan lebih baik lagi. Apa jadinya bila yang muncul justru generasi penerus “miskin nilai”? Besar kemungkinan peradaban akan berjalan stagnan, bahkan mundur ke belakang.

3.      Awas Kartun Anak!
Adakah ibu yang tidak bahagia saat melihat anakanaknya tersenyum dan tertawa karena ada yang membuat mereka gembira? Rasanya tidak ada. Sayangnya kebahagiaan itu harus dibarengi dengan kerutan di dahi. Ceritanya begini, satu sore di masa saya masih memiliki televisi, saya melihat anak-anak saya tertawa menyaksikan tayangan film kartun Tom dan Jerry tokoh legendaris produksi MGM yang selalu berantem sepanjang film berlangsung. Lain waktu, bertahun-tahun kemudian ketika mereka berkesempatan menonton televisi (bukan di rumah saya, asli! Di rumah neneknya, tuh), mereka kembali tertawa-tawa menyaksikan Tom dan Jeny. Temyata, meski sudah lama No TV at Home, mereka belum sepenuhnya lepas dan menyukai Tom and Jerry. Namun, mereka tahu bahwa saya tidak menyukainya dan mereka juga tahu mengapa saya tidak menyukainya. Seringkali usai “kecolongan” menonton, mereka lapor, “Mi, tadi Tom Jerry-nya nggak berkelahi, kok. Baik, kok. Berkawan.” Memang, ada beberapa episode saya lihat Tom dan Jerry bekerjasama. “Iya, tapi mereka menyakiti si anjing. Sama saja, dong.” Kilah saya. Yah, setidaknya anak-anak itu tahu bahwa Tom-Jerry memiliki sisi negatif meski belum sepenuhnya bisa lepas dari menonton tokoh kucing dan tikus itu ketika ada kesempatan dalam kesempitan.
 Film kartun selalu diidentikkan sebagai film anak-anak. Tengoklah counter-counter penjualan CD. Semua film kartun dan animasi dikategorikan sebagai film anak. Amati pula tayangan-tayangan di televisi. Film kartun, yang hampir seluruhnya dari luar negeri, selalu diberi label SU (Semua Umur) dan dikategorikan sebagai tayangan anak-anak. Opini orangtua digiring untuk mengamini pelabelan tersebut. Akibatnya? Luar biasa. Muncul toleransi bahkan permisivisme yang besar terhadap film- film tersebut untuk dikomsumsi mata, telinga, otak dan perasaan anak-anak. Bahkan, saya khawatir ada yang “tega” membiarkan anaknya seharian ditemani Cartoon Network melalui layanan Indovision. Ah, kan film untuk anak-anak, begitu opini yang melenakan muncul dan tanpa filter menjadi penerimaan.
 Sejak zaman Walt Disney, kartun tidak bisa dikatakan aman untuk dikonsumsi anak-anak kita. Tengoklah Mickey dan Minni, berikut Donald dan Daisy. Layakkah anak-anak kita menonton cerita bertema percintaan (lengkap dengan trik menarik perhatian lawan jenis, merebut pacar, adegan ekspresi percintaan seperti ciuman) tokoh-tokoh tersebut? Mengekor pasangan dobel M dan dobel D, film kartun generasi sekarang pun selalu membubuhkan tema percintaan, bahkan tidak hanya sebagai tema sampingan. Barbie, misalnya. Padahal, segala yang masuk ke otak, pikiran dan perasaan, pastilah lama-kelamaan bisa mempengaruhi pola pikir dan perilaku anak-anak. Kasus-kasus pedofilia yang dilakukan oleh jejaka-jejaka usia belasan, bukan tidak mungkin diilhami film-film kartun tersebut. Ya, sejak kecil terinspirasi, berkembang pesat tanpa terdeteksi plus dukungan media melalui beragam tayangan, meledaklah saat perkembangan usia mencapai tahapan pubertas dan merasa butuh penyaluran.
Padahal, kedewasaan berpikir dan berperasaan belum terbentuk. Kesiapan bertanggung jawab belum terpenuhi. Akibatnya, gadis-gadis kecil pun menjadi sasaran pelampiasan. Jangan heran bila perkembangan biologis anak-anak sekarang begitu cepat. anak-anak SD saling mengolok-olok siapa pasangan mereka dalam artian pacar. Bahkan, ada jejaka kecil kelas 4 SD yang rela memberikan handphonenya demi merebut hati gadis incarannya, sesama kelas 4 SD!.
 Selain tema percintaan yang mungkin dianggap bumbu penyedap, ada tema lain yang juga muncul. Kekerasan. Kita bisa tertawa menyaksikan perang antara Tom & Jerry, tetapi saya yakin tawa tersebut akan hilang ketika mendapati anak-anak kita meniru trik-trik penuh kekerasan (bahkan sadis) yang diajarkan dua tokoh tersebut. Film kartun generasi baru sekarang juga sarat kekerasan, seperti Dragon Ball, Conan, Kindaichi, bahkan Doraemon sekali pun. Secara tidak sadar, pesan yang tertangkap dari film-film tersebut adalah solusi untuk memenangkan eksistensi hanyalah dengan menjadi yang terkuat, dalam artian secara fisik dan kekuasaan. Padahal, eksistensi seseorang mestinya dimenangkan dengan merebut simpati dan kesan positif orang lain. Kekerasan demi kekerasan yang sekarang kita saksikan, baik dalam bentuk aksi kriminalitas, main hakim sendiri, tawuran, anarkisme kelompok maupun bentrok antar warga, bisa jadi merupakan buah penanaman nilai kekerasan yang secara tidak sadar berlangsung bertahun-tahun, salah satunya melalui tayangan film kartun.
Ya, tidak ada satu sifat maupun kebiasaan yang muncul tiba-tiba. Semua lahir dari proses transformasi nilai ataupun pola berpikir, termasuk lewat tayangan kartun. Nilai yang diterima memang tidak muncul saat itu juga, tetapi dengan proses. Sayangnya, proses yang kecil sering luput dan perhatian. Misal, anak menjadi agresif dalam artian negatif. Kita hanya berpikir, anak nakal dan perlu dilakukan tindakan tanpa dirunut mengapa anak berubah. Padahal, setiap han selama berjam-jam ia “diajari” oleh “guru kartun”-nya untuk berubah dan kita sebagai orangtua tidak menyadarinya. Ia terbiasa melihat pukul-pukulan ala Tom & Jerry. Ia terbiasa melihat pembunuhan lewat Conan dan Kindaichi (yang selalu saja “hanya” bermotif dendam). Ia terbiasa melihat pergaulan bebas seperti cinta Mickey dan Minni. Ia terbiasa membayangkan bisa hidup enak, mudah dan melarikan masalah pada orang lain sebagaimana Nobita dan Doraemon si kucing ajaib. Kita tidak sadar karena kita pikir mereka guru yang tepat untuk anak kita.
Jadi, apa yang harus kita lakukan? Diet tayangan. Tidak semua film kartun boleh ditonton. Anak kita bisa diberikan pengertian plus tawaran yang lebih menarik, untuk tidak menonton film kartun yang berkonotasi negatif. Bila perlu, berikan sedikit sanksi saat mereka begitu memilih film tersebut. Dulu, saya memang sengaja membiarkan anak-anak menonton Tom & Jeny tetapi setiap kali menonton saya katakan bahwa film tersebut jelek secara isi (dengan bahasa anak, tentu). Saat mereka tidak bergeming saya benkan altematif, bermain di luar, bermain bersama, atau menonton film yang aman  (Barney, misalnya).
 Sampai saat ini kita masih harus berhadapan dengan beragam film kartun lain yang mungkin akan semakin canggih mengajari anak-ank kita hal-hal yang tidak
kita inginkan. Si Unyil dan Si Huma? tayangan anak dulu Rasanya, mereka jauh lebih aman dan lebih mendidik dibandingkan film-film luar yang canggih itu, meskipun secara performance Si Unyil dan Si Huma memang sederhana.




4.      Menonton Bersama Anak
 Menonton (televisi maupun DVD) bersama anak bisa menjadi alah satu alternatif kegiatan in door yang kita pilih. Ya, menonton bersama dalam artian yang sesungguhnya. Bukan sekedar membiarkan anak menonton dan kita sibuk di sekitamya (melakukan aktifitas rumah tangga atau pun menyelesaikan pekerjaan kantor yang tersisa). Juga bukan dalam artian kita menonton tayangan yang kita pilih dan membuat anak kita duduk menemani meskipun secara rasional dan emosional dia tidak pantas menerima. Bukan. Menonton bersama yang saya maksud benar-benar menonton dan mengomentari tayangan tersebut secara dialogis dengan anak.
 Ada beberapa sebab mengapa menonton bersama anak perlu diagendakan secara terencana agar tidak sekedar menjadi kegiatan sambil lalu pembunuh waktu atau iseng-iseng tak bermutu. Pertama, menonton bersama bisa membangun komunikasi yang baik. Setiap tayangan pastilah mendatangkan respon, baik secara verbal maupun non verbal. Dengan menonton bersama, respon kita dan anak kita secara verbal bisa dijadikan bahan obrolan yang edukatif. Misalnya menonton acara kuliner (misal acara televisi Wisata Kuliner-nya Bondan Winarno yang Mak Nyus). Diskusi tentang menu yang disajikan di televisi, bisa sampai ke menu keluarga. Pastilah menyenangkan merancang menu bersama anak kita karena saat memasak nanti, ia juga akan tertarik mengikuti.
Kedua, saat menonton adalah saat yang santai. Secara umum, kita sedang ingin me-refresh pikiran dan tenaga. Saat santai adalah saat yang baik untuk saling mengeratkan hubungan emosional karena kondisi psikis kita cenderung stabil. Sembari mengobrol, kita bisa memeluk, mencium dan menunjukkan kasih-sayang kita pada anak. Kadang, kita pun memerlukan kondisi yang optimal secara emosional untuk bisa merasakan betapa kita menyayangi mereka. Cobalah rasakan ketika menonton bersama. Bandingkan ketika kita menciumnya saat buru-buru hendak berangkat kerja. Berbeda.
Ketiga, menonton bersama bisa menjadi kesempatan bagus bagi orang tua untuk melihat secara lebih obyektif perkembangan pemikiran, perilaku dan hubungan antar anggota keluarga. Mengapa? Saat menonton, orang relatif spontan dan jujur berekspresi. Misalnya menonton Dora The Explorer. Kita bisa memancing tanggapan, pemahaman dan pendapat anak kita terhadap aktifitas berikut komunikasi interaktif Dora terhadap penonton. Atau, kita bisa memperhatikan ekspresinya dan mencoba menganalisis apa yang dia pikirkan dan dia rasakan. Yang jelas, anak sulung saya menganggap aneh kehadiran bintang-bintang yang bisa beraksi layaknya manusia. Anak kedua saya justru sangat senang dengan bintang-bintang itu. Padahal, keduanya sama-sama pernah menonton CD Harun Yahya, membaca bukunya, dan tahu apa bintang itu sesungguhnya secara ilmiah. Namun, sikap yang ditunjukkan terhadap kejadian di tayangan berbeda. Luar biasa, bukan? Informasi yang sama bisa menghasilkan output berbeda. Itu baru satu contoh. Padahal, pasti sangat banyak yang bisa kita temukan dari anak-anak kita.
Menonton bersama memerlukan “pengorbanan” kita. Ya, memang. Kita tentu hanya bisa menonton acara yang memang aman menjadi acara keluarga. Tidak semua yang dilabeli SU oleh stasiun televisi aman. Dulu, saya dan anak-anak sering menonton bersama acara Surat Sahabat. Tayangan gaya feature yang dikomandoi Ishadi SK ini patut diacungi jempol. Surat Sahabat menampilkan kehidupan khas anak-anak dari seluruh Indonesia, secara bergantian tiap episode. Dinaratori oleh anak-anak, menampilkan anak-anak asli penduduk setempat, penuturannya seperti menulis surat, membuat Surat Sahabat terlihat natural dan jauh dari kesan mengada-ada. Meski awalnya sempat sepi iklan, sekarang ini sekitar empat sampai lima spot iklan muncul di jeda komersil Surat Sahabat. Ishadi yang memang “ahli”-nya liputan patut berbangga. Tayangan yang dia besut tidak hanya berhasil secara immateri tetapi juga secara materi, meski butuh waktu. Satu lagi bukti bahwa masyarakat kita sungguh bisa dididik untuk menonton secara baik.
Setiap episode, Surat Sahabat selalu menampilkan kehidupan anak-anak yang dekat dengan alam. Memotong rumput, mencari ikan, berenang di sungai, makan buah-buahan hutan, berinteraksi dengan hewan, dan bermain dengan apa yang alam sediakan, nyaris tanpa sentuhan teknologi. Tidakkah anak kita perlu melihat hal tersebut? Melihat kehidupan yang rasanya tak akan mereka temui anak-anak yang tinggal di kota. Anak-anak saya saat itu sangat antusias melihat kealamian yang ditawarkan Surat Sahabat. Antusiasme yang bisa ditarik pada banyak hal. Mencintai alam, menghargai “ketertinggalan”, merindukan keserasian hubungan antara manusia dengan semua unsur di bumi ini, dan merasakan keagungan Tuhan.
 Acara apa yang anda pilih bersama anak anda? Silakan mencari dan pastikan tiga hal di atas bisa dijalankan. Melancarkan komunikasi, menguatkan hubungan emosi, dan mengerti situasi-kondisi anak kita secara lebih baik. Selamat mencoba.


5.      Tanya Kenapa
Judul di atas pasti langsung mengingatkan pembaca pada salah satu iklan yang pernah ada. Harus diakui, iklan salah satu merek rokok itu menarik. Iklan yang mengandung makna sindiran tersebut terasa begitu pas dengan realita masyarakat dan negara ini. Konsep iklan yang berusaha menarik perhatian serta menanamkan identitas produk di benak calon konsumen pun terasa mengena. Unik. Menarik perhatian. Menggelitik. Lucu juga.
Salah satu kreator yang saya kagumi adalah para kreator di dunia advertising, terutama kreator iklan untuk media elektronika. Seringkali hasil kreasi mereka menjadi tren di masyarakat. Tren komunikasi, misalnya dalam pemilihan kata dan istilah. Tren penampilan, misalnya dalam gaya berpakaian dan gaya rambut. Tapi, yang paling diinginkan produsen saat mereka meminta jasa kreator iklan untuk mempublikasikan produk mereka, satu saja, yakni tren mengkonsumsi produk yang ditawarkan.
Lihatlah, masakan cepat saji menjadi tren. Tidak hanya konsumen yang merasa “kuper” bila belum merasakan masakan cepat saji, pemilik modal pun banyak yang membuka bisnis serupa demi melihat tren yang ada. Iklan telah membentuk opini. Opini mendorong hadirnya realita. Realita meluas dan mengurat sehingga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Sungguh, tidak perlu kekerasan, pemaksaan, dan biaya yang sangat banyak untuk mengubah kebiasaan dan pola pikir masyarakat. Iklan sudah membuktikan. Kuncinya satu saja, intensitas dan publisitas.
Iklan bisa mengubah masyarakat, bahkan yang sudah relatif mapan secara pola pikir maupun kebiasaan. Nah, pemahkah kita bayangkan apa yang bisa iklan lakukan terhadap anak-anak kita? Logikanya, anak-anak akan jauh lebih mudah diubah, dipengaruhi, dan dibentuk tingkah lakunya daripada orang dewasa. Boleh jadi ke depan yang akan kita hadapi adalah generasi penerus produk ikian.
 Berbahayanya tayangan sinetron, film, maupun info rmasi yang sarat kekerasan, dekadensi moral, pelecehan nilai-nilai kemanusiaan dan perempuan, sudah diamini banyak pihak. Namun, pemahkah kita bayangkan bahwa iklan juga bisa membawa hal serupa? Bahkan, karena intensitas kemunculan iklan jauh lebih besar daripada tayangan program, pengaruhnya akan lebih cepat masuk ke anak-anak kita. Benarkah? Ada beberapa alasan yang bisa menjadi dasar mengapa ke depan kita akan melihat satu generasi produk iklan.
 Pertama, anak-anak adalah peniru nomor satu. Modelling masih menjadi prinsip utama seorang anak menuju proses perkembangannya. Siapa yang menjadi model? Siapa yang paling intens berhubungan dengannya. Jadi, saat anak-anak kita menjadi penonton yang setia tanpa seleksi dan batasan waktu, ia akan mengambil apa pun yang ditawarkan televisi tanpa filter berarti. Terlebih, kecenderungan anak-anak adalah meniru orang yang lebih berumur darinya (remaja, dewasa). Maka, para remaja dan orang dewasa di televisi-lah contoh real bagi mereka.
 Kedua, anak-anak memiliki daya serap dan daya ingat lebih baik daripada orang tua. Faktor pertama karena bahan baku, yakni otak yang masih dalam tahap perkembangan. Faktor kedua karena beban pikiran yang mereka tampung dalam otak mereka lebih sederhana daripada orang tua. Kemampuan ini memungkinkan mereka menyimpan semua yang diterima secara lebih optimal, termasuk pesan dari iklan. Cobalah kita amati, tiba-tiba saja anak-anak kita begitu fasih meniru slogan produk yang ditawarkan iklan tanpa kita sadari kapan dia melihat dan merekam semua itu.
Ketiga, anak-anak memiliki egosentris yang cukup kuat. Salah satu bentuk egosentris yang mereka tunjukkan adalah dengan menonjolkan apa yang mereka miliki, mereka ketahui dan mereka alami. Bayangkanlah saat seoramg anak mengetahui, memiliki atau mengalami sesuatu yang ditawarkan iklan dan ia tahu persis teman temannya juga menonton iklan tersebut. Apa yang akan ia dapatkan? Kesempatan menunjukkan eksistensi. Tanpa disadari, anak kita menjadi makhluk yang konsumtif. Beli itu! Jalan-jalan ke situ! Makan itu! Minum itu! Mau itu!
Keempat, sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung membiarkan anak-anaknya menonton televisi tanpa batasan. Bahkan, televisi dianggap membantu tugas orang tua membuat anak-anak menjadi duduk manis dan tidak merepotkan. Besar kemungkinan, porsi anak-anak menonton televisi jauh lebih besar daripada orang tua. Otomatis intensitas anak-anak menerima pesan dari iklan jauh lebih besar. Maka, apa yang tidak masuk akal saat anak kita jauh lebih hafal tren produk daripada kita? Jika anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama televisi, otomatis “kata-kata” televisi dan perilaku di televisi lebih ia dengarkan dan ikuti. Keterikatan dan ketergantungannya terhadap televisi menjadi lebih besar daripada dengan orang tua dalam hal in Misal, sampai ditinggal orang tua pun tidak apa-apa asal ada televisi. Gawat, deh.
 Iklan selama ini kurang mendapat perhatian untuk diwaspadai pengaruhnya terhadap anak-anak kita. Padahal, iklan juga kerap memuat ide yang membahayakan. Celakanya lagi, tidak selalu tayangan yang berlabel SU atau program anak sekali pun hanya memunculkan iklan yang juga aman ditonton mereka. Tidak jarang iklan produk remaja dengan ide dan gaya remaja, muncul di tayangan acara anak. Misal, dulu ada iklan permen coklat yang membuat si “pengemut” jadi merasa seksi. Gara-gara iklan ini saya pernah mendapati seorang anak perempuan umur 4 tahun dengan santainya mengatakan, aku seksi. Usut punya usut, dia membeo iklan itu yang muncul secara intens di tayangan film anak-anak. Aih, apa sih yang dia pahami dari seksi? Masih banyak iklan lain seperti produk perawatan tubuh (shampoo, sabun). Iklan makanan (mie instant, snack, makanan siap saji), dan lain-lain. Semuanya nyaris menampilkan sosok-sosok yang bukan anak-anak, bergaya bukan anak-anak dan tentu saja membawa pesan yang bukan konsumsi anak-anak. Padahal, munculnya jelas di tayangan film anak-anak.
Solusinya? Jangan menonton televisi kecuali bila perlu dan jangan biarkan anak-anak menonton tanpa pengawasan, pendampingan dan pembatasan. Jangan sampai anak kita berubah dan kita hanya bisa berkata, “Tanya kenapa tanya kenapa?!”. 

catatan seorang guru TK yg tertinggal d tempat fotocopy
Read More...

Video Gallery

Cari Blog Ini

silahkan melihat